Menguak Fenomena Sosial

Menguak Fenomena Sosial merupakan resensi atas buku Kota Gudik karya Wahyu Wibowo, dkk terbitan Pustaka Kata yang di muat oleh Kabar Madura
Gambar: Kabar Madura

Kabar Madura 07 Maret 2017




Judul Buku : Kota Gudik

Penulis : Wahyu Wibowo, dkk

Penerbit : Pustaka Kata

Cetakan : Agustus, 2016

Tebal : 266 hal

Isbn : 978-602-6235-88-6


Buku ini berisi sekumpulan anak muda yang mencintai dunia literasi. Ya, anak-anak muda yang terangkum dalam buku ini begitu mencintai dunianya. Dunia yang membuat hidup mereka bahagia meski tidak mendapat upah atau gaji dari kegiatan yang dilakukannya. Tetapi mereka tetap bahagia, karena mereka mencintai hobinya. Apapun bila dilakukan dengan cinta dan sepenuh jiwa pasti akan mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi para pelakuknya.

Buku ini berisi kumpulan cerpen dan puisi dari penulis yang berbeda-beda. Baik suku, ras, agama, pun daerah tempat tinggal mereka sendiri. Buku ini terlahir atas prakarsa Wahyu Wibowo, yang begitu mencintai dunia literasi. Sehingga memunculkan gagasan untuk tetap melestarikan dunia yang amat dicintainya. Pun untuk bisa berbagi kisah, pengalaman, hikmah, maupun informasi melalui lembar demi lembar dalam buku ini. Oleh karena itu, Wahyu mengumpulkan para pemuda yang memiliki passion yang sama untuk melestarikan dunia literasi. Sehingga lahirlah, buku dengan judul “Kota Gudik” ini.

Beberapa cerpen di dalam buku ini, mengangkat isu-isu atau fenomena sosial di dalam kehidupan kita. Seperti dalam cerpen yang berjudul “Setan Ompong dan Setan Prematur” karya Nabila Asy-Syifa. Cerpen ini menceritakan tentang dua setan yang selalu menggoda manusia, yaitu Setan Ompong dan Setan Prematur. Di dalam kisah ini, pembaca akan disuguhkan dengan fenomena sosial yang sudah sering terjadi; suap dan korupsi. Dua fenomena itu memang sudah tidak asing ditelinga kita. Kata itu sering kita temui baik di siaran televisi, maupun menyaksikan atau terlibat langsung di dalamnya.

Adalah Setan Prematur, yang sedang bertugas menggoda seorang manusia untuk menerima suap dari salah seorang caleg (hal 2). Tentu kejadian ini sudah sering terjadi menjelang pemilu atau pilkada. Hal yang dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat. Tak sedikit pula yang terlibat langsung di dalamnya.

Berbeda dengan Setan Ompong, dia bertugas mencetak manusia-manusia yang ompong pemikirannya (hal 2). Agar dia memiliki teman ketika di neraka. Seringkali manusia tergoda dengan harta, jabatan, dan pangkat. Alih-alih menjaga iman malah tercebur dalam jurang. Sungguh memprihatinkan.

Menurut Setan Prematur, manusia seperti monyet yang selalu bergelantungan dan meloncat-loncat dari satu ranting dosa ke ranting dosa lainnya. Baginya, begitu mudah mengelabui manusia hanya dengan memberikannya uang, kekuasaan dan jabatan. Mereka akan langsung tunduk dan menghamba pada Setan Prematur. Manusia mana yang tak suka bahagia? Bukankah dosa itu selalu menyenangkan? Berbeda dengan pahala yang cara mendapatkannya terbilang susah (hal 3-4). Bahkan sangat susah bagi orang yang lemah imannya

Lain lagi dalam cerita yang berjudul “Pak Pon yang Malang” karya Bintang Maulana Zakariya. Cerpen ini berkisah tentang Ponaryo Sudirman atau yang lebih sering disebut Pak Pon. Diceritakan beliau ini adalah seorang dosen yang terkenal killer bagi sebagian mahasiswa. Apalagi begitu sulitnya bagi sebagian mahasiswa untuk mendapatkan nilai A pada tiap mata kuliah tehnik transportasi yang diajarkan oleh Pak Pon. Mendapatkan B saja hitungannya sudah sangat beruntung.

Selain di kampusnya, Pak Pon juga dikenal cukup santer di kampungnya. Sifatnya yang keras dan tegas membuatnya cukup disegani di kampungnya. Pak Pon dikenal masyarakat sebagai orang yang penuh dengan teori. Ketika rapat warga, ia tidak pernah absen untuk ikut bicara walaupun terkadang arah pembicaraanya jauh dari pembahasan. Hal itulah yang membuat masyarakat menilai bahwa ia hanya bisa bicara saja, sedangkan untuk pratik penerapannya tidak seimbang denga teori-teori yang telah disampaikannya.

Ketika di kampus, Pak Pon tak henti-hentinya menghimbau kepada mahasiswanya untuk tidak melanggar aturan lalu lintas. Mulai dari menaati rambu-rambu lalu lintas, menggunakan alat keselamatan berkendara, sampai menghormati para pejalan kaki, ia juga sering menegur mahasiswanya yang kedapatan tidak tertib ketika di jalan raya. Dengan berbagai wejangan ia menasihati mahasiswanya (hal 9-10).

Tapi anehnya, menjelang akhir cerita dialah yang melanggar semua itu. Hal itu bermula ketika Pak Pon dan anaknya hendak menonton pertandingan sepak bola antara timnas Indonesia vs Malaysia di GBK. Jalanan yang begitu padat membuat ia tak berpikir panjang dengan menaiki trotoar. Sontak hal itu membuat anaknya yang terkenal kritis bertanya. Pak Pon pun menyuruh anaknya untuk diam. Namun sang anak terus menjejali berbagai pertanyaan kepada ayahnya. Hingga akhirnya dia mendapat teriakkan dari salah seorang yang ternyata mantan mahasiswanya yang sempat ia nasihati ketika melakukan pelanggaran lalu lintas. Dia yang merasa sedikit kaget akan hal itu, kehilangan konsentrasi. Sehingga motor yang dikendarainya pun terjatuh (hal 11-12). Tentu hal semacam ini pernah terjadi dilingkungan kita.

Buku ini sangat cocok sebagai teman bacaan. Selain menghibur, cerita di dalamnya menguak fenomena yang sering terjadi di lingkungan tempat tinggal kita.
Toni Al-Munawwar
Toni Al-Munawwar Toni Al-Munawwar adalah seorang blogger dan penulis buku. Ia mulai menekuni dunia menulis dari blog pribadinya. Beberapa tulisannya pernah dimuat media cetak dan elektronik.

Posting Komentar untuk "Menguak Fenomena Sosial"